Kunjungan Lokananta dan Monumen Pers Tahun 2013

Posted by febrian Label:



                Hari kamis kemarin  kelas Sejarah Media dan Komunikasi UGM  akan mengadakan kunjungan ke dua tempat yang memiliki banyak peninggalan-peninggalan yang sangat bersejarah bagi Bangsa Indonesia itu sendiri. Kami berangkat ke Surakarta pukul 8 pagi dengan menggunakan bis 2 armada, dan dibimbing oleh 2 dosen kita Mba Mutia dan Mba Ipeh. Tempat kunjungan pertama kita adalah ke salah satu tempat rekaman pertama kali yang ada di Indonesia yaitu Lokananta. Pada awalnya Lokananta itu sendiri adalah sebuah pabrik piringan hitam yang di prakarsai oleh R. Maladi beserta kawan-kawannya sejak tahun 1950. Pada tahun 1950 juga di adakan uji coba pertama yang dilaksanakan di kota Solo dan berhasil dengan perintisnya adalah R. Oetojo Soemowidjojo dan R. Ngabehi Soegoto Soerjodipoero yang pada waktu itu beliau menjabat sebagai Kepala Studio RRI dan Kepada Tekhnik Produksi RRI Surakarta. Mendengar kata Lokananta saya sendiri merasa aneh, sebenarnya apa arti dari Lokananta itu sendiri? Lokananta diambil dari seperangkat gamelan dari Suralaya. Konon cerita sejak dulu gamelan Lokananta ini dapat berbunyi sendiri tanpa ada yang menabuhnya. Suaranya sangat mengalun merdu, bergema, syahdu, dan sangat indah. Studio rekaman Lokananta ini didirikan pada tanggal 29 Oktober 1956 tepat pukul 10 pagi yang diresmikan secara langsung oleh Menteri Penerangan Republik Indonesia, R. I. Soedibjo dengan nama awal Pabrik Piringan Hitam Lokananta, Jawatan Radio Kementrian Penerangan Republik Indonesia di Surakarta. Nama Lokananta itu sendiri diusulkan oleh R. Maladi yang menjabat sebagai Direktur Jenderal RRI, kepada pemerintah dan kemudian di setujui oleh Soekarno selaku Presiden pertama RI pada waktu itu.
            Pada dasarnya upaya yang dilakukan oleh Lokananta adalah untuk  menggali, membina, melestarikan serta menyebarluaskan kesenian/kebudayaan nasional. Maka dilihat dari upaya tersebut pada tanggal 1 Januari 1960 Lokananta diangkat menjadi Perusahaan Negara. Seiring dengan berjalannya waktu, tidak selamanya Lokananta ini sendiri berjalan dengan sangat mulus hari ke harinya. Lokananta sendiri pernah mengalami pasang surutnya dalam menjalankan kegiatan kesehariannya. Lokananta pernah mengalami masa krisis di saat kepemimpinan Gusdur. Menurut Pendi Haryadi selaku pimpinan kepala cabang sekarang, Lokananta sempat mengalami kebingungan untuk menginduk kepada siapa pada saat itu. Pada tahun 1983lah Lokananta ditetapkan sebagai salah satu BUMN Departemen Penerangan. Pada masa itu menurut Ibu Titik selaku pegawai yang sudah lama bekerja di Lokananta menceritakan masa-masa dilikuidasi dengan menghapuskan Departemen Penerangan oleh Gusdur selaku Presiden pada masa itu. Lokananta pada awalnya mempunyai  pegawai 150 semakin hari semakin sedikit sampai 15 orang yang bisa bekerja tanpa di beri upah selama 6 bulan. Mereka bekerja hanya bisa membersihkan piringan-piringan hitam saja dan tidak ada pemasukan sama sekali. Pada akhirnya berdasarkan sejak tahun 204 PN Lokananta menjadi Perum PNRI Cabang Surakarta dengan cakupan tugas sebagai salah satu pusat Multimedia, rekaman (kaset dan CD ROM), remastering dan pengembangan percetakan serta Jasa Grafika, juga kegiatan di dunia penyiaran (Broadcasting) sampai sekarang.
            Artis-artis ternama juga banyak dilahirkan lewat Lokananta ini, seperti Ibu Waldjinah dan Ibu Tietiek Puspa. Selain itu, Glenn Fredly juga sempat menjejakan kaki di Lokananta untuk membuat satu album full yang di proses lewat Lokananta. Glenn Fredly mengajak agar masyarakat Indonesia bisa tergugah kembali untuk sama-sama mengembangkan dan memanfaatkan fasilitas yang sudah ada di Lokananta ini.
            Tempat Kunjungan selanjutnya adalah ke Monumen Pers Nasional. Gedung Monumen Pers Nasional ini adalah gedung yang sarat sejarah. Pada tahun 1933 di gedung ini diadakan rapat yang dipimpin RM. Ir. Sarsito Mangunkusumo yang melahirkan stasiun radio baru yang bernama Soloche Radio Vereeniging (SRV) sebagai radio pertama kaum pribumi dengan semangat kebangsaan. Di gedung itu pula, organisasi profesi kewartawanan pertama yaitu PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) terbentuk pada 9 Februari 1946, tanggal ini ditetapkan sebagai hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia dan Hari Pers Nasional. Untuk memperingati kisah sejarah tersebut, maka usaha PWI yang direstui oleh Presiden menjadikan gedung bekas “Sasana Soeka” tersebut dijadikan Monumen Pers Nasional. Awalnya gedung ini hanya sebagai gedung tempat pertemuan yang dibangun atas prakarsa KGPAA Sri Mangkunegoro VII. Pada tanggal 9 Februari 1946 di gedung ini pula diadakannya konferensi Wartawan Pejuang Kemerdekaan Indonesia, yang pada akhirnya melahirkan sebuah organisasi profesi wartawan dengan nama Persatuan Wartawan Indonesia dengan Mr. Soemanang terpilih sebagai ketuanya.
            Pada peringatan 10 tahunnya PWI, tercetuslah suatu keinginan untuk membuat Yayasan Museum Pers Indonesia yang di cetuskan oleh B. M. Diah, S. Tahsin, Rosihan Anwar, dll. Keinginan tersebut akhirnya terwujud pada 22 Mei 1956, dengan pengurusnya antara lain R.P. Hendro, Kadiono, Sawarno Prodjodikoro, Mr. Soelistyo, Soebekti, dengan modal utamanya adalah koleksi buku dan majalah milik Soedarjo Tjokrosisworo. Dalam peringatan seperempat abad PWI, 9 Februari 1971 Menteri Penerangan Budiardjo, menyatakan pendirian Museum Pers Nasional di Surakarta. Namun, pada kongres Tretes tahun 1973, nama Museum Pers Nasional diubah menjadi Monumen Pers Nasional atas usulan PWI cabang Surakarta. Tidak lama kemudian turunlah Surat Keputusan Gubernur Daerah Tingkat 1 Jawa Tengah nomor HK.128/1977 tertanggal 31 Desember 1977 atas tanah dan gedung “Societeit” tersebut diserahkan kepada Panitia Pembangunan Monumen Pers Nasional yang berada di bawah Departemen Penerangan RI.
            Gedung ini mempunyai 2 unit bangunan 2 lantai, 1 unit bangunan 4 lantai, dan di samping itu ada penyempurnaan dan pemugaran gedung utama. Dengan adanya bangunan yang cukup mampu untuk dijadikan monumen maka pada tanggal 9 Februari 1978, Presiden Soekarno meresmikan Monumen Pers Nasional dengan penandatanganan prasasti di Surakarta.Saat ini Monumen Pers Nasional ini mempunyai visi terwujudnya Pusat Rujukan Dokumentasi Pers Nasional Berbasis Tekhnologi Informasi, dengan misi mengumpulkan banyak doukumentasi surat-surat kabar dan alat-alat pers, merawat surat-surat kabar dan alat-alat pers yang ada sejak zaman belanda hingga saat ini, dan juga menjadikan Monumen Pers Nasional sebagai tempat wisata ilmiah di bidang media untuk masyarakat umum. Banyak sekali layanan yang bisa didapat, diantaranya : Media Center, Papan Baca, Perpustakaan, Dokumentasi, Riset Kunjungan Ilmiah, dan Mobil Layanan Internet, Pameran dan Seminar. Semua layanan gratis ini sangat dapat respon positif dari masyarakat sekitar terutama masyarakat Surakarta. Saat ini keberadaan Monumen Pers Nasional berada di bawah lingkupan Kementrian Komunikasi dan Informatika. Di tempat ini banyak sekali pelajaran yang bisa diambil. Disini kita bisa melihat koran yang masih di bandrol dengan harga 1 Rupiah, hinggal koran yang sekaran dengan harga 3ribu per eksemplar. Selain itu, kita bisa melihat barang-barang dari mulai pemancar kambing, telepon jaman dulu, hingga mesin scanner yang masih harus dilalui oleh 5 kali tahapan.
            Kunjungan ini diakhiri dengan kita mengunjungi Film Festival Solo terlebih dahulu. Acara ini diadakan di ISI Surakarta. Banyak sekali penonton yang berminat untuk menonton Film-Film Dokumenter. Acara tersebut selesai pukul 6 sore, dan kita langsung bergegas pulang ke Jogjakarta kembali.

0 komentar:

Posting Komentar

Recent Post