Hari
kamis kemarin kelas Sejarah Media dan
Komunikasi UGM akan mengadakan kunjungan
ke dua tempat yang memiliki banyak peninggalan-peninggalan yang sangat
bersejarah bagi Bangsa Indonesia itu sendiri. Kami berangkat ke Surakarta pukul
8 pagi dengan menggunakan bis 2 armada, dan dibimbing oleh 2 dosen kita Mba
Mutia dan Mba Ipeh. Tempat kunjungan pertama kita adalah ke salah satu tempat
rekaman pertama kali yang ada di Indonesia yaitu Lokananta. Pada awalnya
Lokananta itu sendiri adalah sebuah pabrik piringan hitam yang di prakarsai
oleh R. Maladi beserta kawan-kawannya sejak tahun 1950. Pada tahun 1950 juga di
adakan uji coba pertama yang dilaksanakan di kota Solo dan berhasil dengan
perintisnya adalah R. Oetojo Soemowidjojo dan R. Ngabehi Soegoto Soerjodipoero
yang pada waktu itu beliau menjabat sebagai Kepala Studio RRI dan Kepada
Tekhnik Produksi RRI Surakarta. Mendengar kata Lokananta saya sendiri merasa
aneh, sebenarnya apa arti dari Lokananta itu sendiri? Lokananta diambil dari
seperangkat gamelan dari Suralaya. Konon cerita sejak dulu gamelan Lokananta
ini dapat berbunyi sendiri tanpa ada yang menabuhnya. Suaranya sangat mengalun
merdu, bergema, syahdu, dan sangat indah. Studio rekaman Lokananta ini
didirikan pada tanggal 29 Oktober 1956 tepat pukul 10 pagi yang diresmikan
secara langsung oleh Menteri Penerangan Republik Indonesia, R. I. Soedibjo
dengan nama awal Pabrik Piringan Hitam Lokananta, Jawatan Radio Kementrian
Penerangan Republik Indonesia di Surakarta. Nama Lokananta itu sendiri
diusulkan oleh R. Maladi yang menjabat sebagai Direktur Jenderal RRI, kepada
pemerintah dan kemudian di setujui oleh Soekarno selaku Presiden pertama RI
pada waktu itu.
Pada dasarnya upaya yang dilakukan oleh Lokananta adalah
untuk menggali, membina, melestarikan
serta menyebarluaskan kesenian/kebudayaan nasional. Maka dilihat dari upaya
tersebut pada tanggal 1 Januari 1960 Lokananta diangkat menjadi Perusahaan
Negara. Seiring dengan berjalannya waktu, tidak selamanya Lokananta ini sendiri
berjalan dengan sangat mulus hari ke harinya. Lokananta sendiri pernah
mengalami pasang surutnya dalam menjalankan kegiatan kesehariannya. Lokananta
pernah mengalami masa krisis di saat kepemimpinan Gusdur. Menurut Pendi Haryadi
selaku pimpinan kepala cabang sekarang, Lokananta sempat mengalami kebingungan
untuk menginduk kepada siapa pada saat itu. Pada tahun 1983lah Lokananta
ditetapkan sebagai salah satu BUMN Departemen Penerangan. Pada masa itu menurut
Ibu Titik selaku pegawai yang sudah lama bekerja di Lokananta menceritakan
masa-masa dilikuidasi dengan menghapuskan Departemen Penerangan oleh Gusdur
selaku Presiden pada masa itu. Lokananta pada awalnya mempunyai pegawai 150 semakin hari semakin sedikit
sampai 15 orang yang bisa bekerja tanpa di beri upah selama 6 bulan. Mereka
bekerja hanya bisa membersihkan piringan-piringan hitam saja dan tidak ada
pemasukan sama sekali. Pada akhirnya berdasarkan sejak tahun 204 PN Lokananta
menjadi Perum PNRI Cabang Surakarta dengan cakupan tugas sebagai salah satu
pusat Multimedia, rekaman (kaset dan CD ROM), remastering dan pengembangan
percetakan serta Jasa Grafika, juga kegiatan di dunia penyiaran (Broadcasting)
sampai sekarang.
Artis-artis ternama juga banyak dilahirkan lewat
Lokananta ini, seperti Ibu Waldjinah dan Ibu Tietiek Puspa. Selain itu, Glenn
Fredly juga sempat menjejakan kaki di Lokananta untuk membuat satu album full
yang di proses lewat Lokananta. Glenn Fredly mengajak agar masyarakat Indonesia
bisa tergugah kembali untuk sama-sama mengembangkan dan memanfaatkan fasilitas
yang sudah ada di Lokananta ini.
Tempat Kunjungan selanjutnya adalah ke Monumen Pers
Nasional. Gedung Monumen Pers Nasional ini adalah gedung yang sarat sejarah.
Pada tahun 1933 di gedung ini diadakan rapat yang dipimpin RM. Ir. Sarsito
Mangunkusumo yang melahirkan stasiun radio baru yang bernama Soloche Radio
Vereeniging (SRV) sebagai radio pertama kaum pribumi dengan semangat
kebangsaan. Di gedung itu pula, organisasi profesi kewartawanan pertama yaitu PWI
(Persatuan Wartawan Indonesia) terbentuk pada 9 Februari 1946, tanggal ini
ditetapkan sebagai hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia dan Hari Pers
Nasional. Untuk memperingati kisah sejarah tersebut, maka usaha PWI yang
direstui oleh Presiden menjadikan gedung bekas “Sasana Soeka” tersebut
dijadikan Monumen Pers Nasional. Awalnya gedung ini hanya sebagai gedung tempat
pertemuan yang dibangun atas prakarsa KGPAA Sri Mangkunegoro VII. Pada tanggal
9 Februari 1946 di gedung ini pula diadakannya konferensi Wartawan Pejuang
Kemerdekaan Indonesia, yang pada akhirnya melahirkan sebuah organisasi profesi
wartawan dengan nama Persatuan Wartawan Indonesia dengan Mr. Soemanang terpilih
sebagai ketuanya.
Pada peringatan 10 tahunnya PWI, tercetuslah suatu
keinginan untuk membuat Yayasan Museum Pers Indonesia yang di cetuskan oleh B.
M. Diah, S. Tahsin, Rosihan Anwar, dll. Keinginan tersebut akhirnya terwujud
pada 22 Mei 1956, dengan pengurusnya antara lain R.P. Hendro, Kadiono, Sawarno
Prodjodikoro, Mr. Soelistyo, Soebekti, dengan modal utamanya adalah koleksi
buku dan majalah milik Soedarjo Tjokrosisworo. Dalam peringatan seperempat abad
PWI, 9 Februari 1971 Menteri Penerangan Budiardjo, menyatakan pendirian Museum
Pers Nasional di Surakarta. Namun, pada kongres Tretes tahun 1973, nama Museum
Pers Nasional diubah menjadi Monumen Pers Nasional atas usulan PWI cabang
Surakarta. Tidak lama kemudian turunlah Surat Keputusan Gubernur Daerah Tingkat
1 Jawa Tengah nomor HK.128/1977 tertanggal 31 Desember 1977 atas tanah dan
gedung “Societeit” tersebut diserahkan kepada Panitia Pembangunan Monumen Pers
Nasional yang berada di bawah Departemen Penerangan RI.
Gedung ini mempunyai 2 unit bangunan 2 lantai, 1 unit
bangunan 4 lantai, dan di samping itu ada penyempurnaan dan pemugaran gedung
utama. Dengan adanya bangunan yang cukup mampu untuk dijadikan monumen maka
pada tanggal 9 Februari 1978, Presiden Soekarno meresmikan Monumen Pers
Nasional dengan penandatanganan prasasti di Surakarta.Saat ini Monumen Pers
Nasional ini mempunyai visi terwujudnya Pusat Rujukan Dokumentasi Pers Nasional
Berbasis Tekhnologi Informasi, dengan misi mengumpulkan banyak doukumentasi
surat-surat kabar dan alat-alat pers, merawat surat-surat kabar dan alat-alat
pers yang ada sejak zaman belanda hingga saat ini, dan juga menjadikan Monumen
Pers Nasional sebagai tempat wisata ilmiah di bidang media untuk masyarakat
umum. Banyak sekali layanan yang bisa didapat, diantaranya : Media Center,
Papan Baca, Perpustakaan, Dokumentasi, Riset Kunjungan Ilmiah, dan Mobil
Layanan Internet, Pameran dan Seminar. Semua layanan gratis ini sangat dapat
respon positif dari masyarakat sekitar terutama masyarakat Surakarta. Saat ini
keberadaan Monumen Pers Nasional berada di bawah lingkupan Kementrian
Komunikasi dan Informatika. Di tempat ini banyak sekali pelajaran yang bisa
diambil. Disini kita bisa melihat koran yang masih di bandrol dengan harga 1
Rupiah, hinggal koran yang sekaran dengan harga 3ribu per eksemplar. Selain
itu, kita bisa melihat barang-barang dari mulai pemancar kambing, telepon jaman
dulu, hingga mesin scanner yang masih
harus dilalui oleh 5 kali tahapan.
Kunjungan ini diakhiri dengan kita mengunjungi Film
Festival Solo terlebih dahulu. Acara ini diadakan di ISI Surakarta. Banyak
sekali penonton yang berminat untuk menonton Film-Film Dokumenter. Acara
tersebut selesai pukul 6 sore, dan kita langsung bergegas pulang ke Jogjakarta
kembali.
0 komentar:
Posting Komentar